Setiap tempat memiliki kisah tersendiri bagi seseorang. Ia menyimpan sejumlah kenangan, baik yang hangat maupun yang menyesakkan dada, yang siap hadir ketika seseorang datang atau melihat tempat tersebut.
Hal serupa juga terjadi padaku. Tempat yang memiliki kisah penting dalam hidupku, bukanlah sebuah sekolah, kamar, atau lainnya. Tempat tersebut, justru, adalah sebuah warung kecil.
Ia bukan warung biasa. Ia adalah warung tempat orang tuaku mencari nafkah sejak 1994. Sebuah warung kecil di depan Pasar Agung, Peninjoan, yang tetap bertahan di tengah gempuran deflasi ekonomi yang melanda negeri ini sejak lama. Sebuah warung, yang mungkin tinggal kenangan.
***
Saat itu aku berumur lima tahun, tahun 2000. Badanku masih kecil, seperti anak-anak kebanyakan. Mataku cenderung agak sipit sehingga banyak orang mengira aku adalah keturunan Tionghoa.
Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Orang tuaku bangun bergegas beranjak dari kasur. Mereka ke kamar mandi, membasahi tubuh. Mereka bersiap-siap pergi ke pasar, berjualan.
Aku terbangun karena nyala lampu kamar orang tuaku. Aku melihat mereka bersiap-siap, dengan pakaian yang lumayan rapi. Seketika, aku tahu bahwa orang tuaku akan pergi ke warung, untuk bekerja.
Aku langsung merengek minta ikut ke pasar. “Pak, milu sik! (Pak, ikut satu!),” tangisku memohon kepada ayahku agar diajak ikut ke pasar.
Ayahku, yang memang tak ingin aku merengek, mengajakku ikut ke pasar. Ia meletakkan di bagian depan, berdiri di atas sebuah Vespa biru yang sudah mengelupas beberapa bagian catnya. Vespa tersebut masih awet, meski sudah seperti rongsokan. Bisa dikatakan, ia Vespa yang bandel.
Setiba di pasar, aku langsung duduk di pojok warung. Aku mengamati para pembeli diladeni oleh orang tuaku. Barang demi barang laku, diboyong untuk dijual kembali di warung kecil mereka.
Warung orang tuaku menjual grosir skala kecil. Selain menjual snack, ia juga menjual beberapa hal lain, seperti gula dan beras. Sebagai sebuah grosir kecil, ia telah menghubungkan orang tuaku dengan beberapa langganan yang setia berbelanja di warung tersebut.
Tak lama, aku tertidur lagi. Tidurku begitu pulas, hingga akhirnya dibangunkan oleh ayahku untuk berangkat masuk TK. Seketika aku terbangun, naik Vespa bonceng depan, dan diantar pulang oleh ayahku.
Memoriku akan warung ketika masih kecil memang samar-samar. Namun, menurut penuturan ayahku, aku adalah anak yang penurut di warung, tidak buat banyak ulah. Juga, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur di warung.
Memori tersebut, jika diputar kembali, akan menjadi memori yang menyenangkan. Aku berharap bisa kembali ke masa lalu dan memeluk diriku yang masih kecil itu. Namun, kehidupan harus jalan terus, seperti kisah dalam cerita ini.
***
Warung kecil tersebut setia menemani perjalananku. Sejak TK hingga aku bekerja sebagai seorang guru, ia hadir dan menjadi penghidupan keluargaku. Tanpanya, mungkin aku tidak dapat membayangkan dari mana orang tuaku akan mendapatkan biaya kuliah aku dan adikku.
Namun, kisah tinggalah kisah. Ia kini hanya menjadi sebuah memori yang bisa dikenang. Orang tuaku memutuskan untuk menutup warung mulai awal 2025 mendatang. “Ibu akan kontrak warung, karena kondisi di warung sekarang benar-benar sepi. Modal sudah habis, dan semakin diisi, modal semakin tergerus,” ucapnya kepadaku sore itu.
Aku sendiri tidak menjawab perkataan ibuku. Aku tahu, bahwa warung sudah benar-benar terkikis habis sejak pandemi kemarin. Melihat kondisi warung, jika aku sempat pergi ke pasar pada pagi hari, hanya menyisakan sesak di dada.
Kondisi warung sekarang sudah benar-benar habis. Barang-barang yang biasanya menghiasi warung, kini sudah tinggal dihitung dengan jari. Ekspansi warung (ya, orang tuaku sempat mengkontrak warung di sebelah warung kami sebagai gudang), telah lama berubah menjadi toko plastik. Ia kini hanya menjadi sebuah warung yang tinggal menunggu kematiannya.
Orang tuaku kini memilih untuk mencari rezeki secara daring. Ibuku membuka usaha sarathi (membuat perlengkapan upacara), dan ayahku fokus melut (mengupas) bawang dan bumbu-bumbu. Warung memang masih tetap ada saat ini. Namun, ia kini hanya tinggal menghitung hari saja.
Kisah ini aku tulis sebagai catatan terakhirku atas warung tersebut, warung yang telah menghidupi keluargaku selama 30 tahun lamanya. Ia mungkin tiada, tetapi memori tentangnya akan selalu membekas dalam ingatanku.
