Balian

[Cerpen] Balian Taksu

Mobil melaju menyusuri jalanan yang bergelombang. Semakin lama, jalanan semakin menyempit. Ini berarti mobil sudah memasuki wilayah pedesaan Tabanan.

Aku duduk di kursi belakang. Badanku yang gempal diam tak bergerak. Hanya pikiranku yang melayang-layang, membayangkan ke mana orang tuaku akan membawaku kali ini.

Setelah sekitar 15 menit berjalan, mobil berhenti di depan sebuah rumah. “Nah, akhirnya kita sampai juga,” sahut ayahku di kursi kemudi. Di depan rumah, terpampang sebuah papan informasi: Ida Ngurah Amerta, Balian Taksu.

Balian taksu adalah penyembuh alternatif yang mengandalkan kemampuan supranatural untuk menyembuhkan pasiet. Mereka menggunakan kekuatan bisa berkomunikasi dengan alam gaib dan dengan dunia arwah sebagai media penyembuhan.

Dugaanku tepat. Orang tuaku kembali ingin membawaku kepada balian. Mereka masih enggan untuk percaya dengan pengobatan medis untuk menyembuhkan penyakitku. Bagi mereka, sakitku hanya bisa disembuhkan melalui tangan sang balian taksu tersebut.

Aku berusaha berontak. Namun, posisiku sekarang di pedesaan Tabanan, bukan di kamarku yang nyaman. Mau tidak mau, aku terpaksa mengikuti keinginan orang tuaku kali ini.

“Ayo, kita masuk ke dalam,” ucap ibuku kepadaku.

Aku bergerak menuju rumah sang balian taksu. Di sana, terdapat banyak pasien menunggu giliran untuk disembuhkan. Terlihat pula sang balian, Ida Ngurah Amerta, menyembuhkan pasien dengan jampi-jampi dan mantra saktinya.

Aku sekarang menerima takdirku di tangan Ida Ngurah Amerta.

***

Setelah menunggu satu jam lamanya, tiba giliranku untuk disembuhkan Ida Ngurah Amerta. Orang tuaku bergerak menuju sebuah bangunan, seperti kamar suci. Kamar suci adalah sebuah bagian rumah dalam tradisi Bali, yang ditujukan untuk segala hal berbau spiritual.

Aku berhadapan dengan Ida Ngurah Amerta. Tubuhnya kekar dan sedikit kurus, dengan jenggot putih tipis di wajahnya. Ia memegang sebuah benda, yang aku tidak ketahui apa itu.

Baca Juga  [Cerpen] Halusinasi Pi Network

“Kenapa niki (ini)?” tanya Ida Ngurah Amerta.

Niki, Jero, anak tiang sudah sebulan tidak bisa bicara. Hanya bisa diam saja, dan berada di dalam kamar,” jawab ayahku.

“Oh, tidak bisa bicara. OK, tiang paham.”

Dengan cepat, Ida Ngurah Amerta melakukan pemujaan. Entah siapa yang ia puja saat itu, aku tidak tahu. Apakah Siwa, apakah Wisnu, atau apakah Bhatara Hyang Guru, tidak ada yang memahaminya. Satu hal yang dapat aku pahami, orang tuaku ingin agar aku bisa bicara lagi.

Ida Ngurah Amerta menggerakan tangannya, melakukan berbagai posisi suci dalam agama Hindu. Posisi tersebut disertai dengan mantra. Seolah-olah, ia sedang melakukan screening bagian yang sakit dalam tubuhku.

“Oh, nggih, nggih, nggih …,” ucapnya seolah tahu apa yang terjadi.

Punapi niki (Bagaimana ini), Jero?” tanya ibuku.

“Anak Anda tidak bisa bicara karena kesisipan perkakas leak. Ada yang berusaha menyakitinya.”

“Apakah bisa dibersihkan, Jero?” ucap ayahku.

“Bisa, tenang saja. Restu Hyang Widhi akan membersihkan putra Anda.”

Dengan cepat, Ida Ngurah Amerta mengguyurkan tirta suci ke tubuhku, sebagai simbol panglukatan. Panglukatan adalah upaya pembersihan tubuh secara niskala (alam gaib), melalui perantara tirtha atau air suci.

“Nggih, sekarang lanjut ke bagian berikutnya,” ucap Ida Ngurah Amerta dengan yakin, sembari membawaku menuju sesi selanjutnya dari pengobatan ini.

***

Kini, aku berada di luar kamar suci sang balian taksu. Ia merupakan sebuah halaman luas, dengan semen sebagai dasarnya. Terlihat tiga ekor anjing Bali berkeliaran, bercanda dan mengendus satu sama lain.

Di tempat tersebut, Ida Ngurah Amerta seketika langsung memukul punggungku. Pukulannya sangat keras hingga punggungku tampak merah. Aku tak kuasa menahan sakit pukulannya. Akhirnya, suaraku keluar.

Baca Juga  [Cerpen] Surat

“ADUH!”

“Nah, mara pesu,” ujar Ida Ngurah Amerta dengan perasaan senang.

Setelah mendengar suaraku keluar. Ida Ngurah Amerta semakin memperkuat pukulannya. Geranganku semakin lama semakin kuat. Aku semakin tak kuasa menahan rasa sakit punggungku.

“Setop, Jero!” ucapku kepada Ida Ngurah Amerta, berharap agar ia berhenti.

Setelah ia yakin aku sudah sehat kembali, ia menghentikan pukulannya. Ia memercikkan tirtha ke punggungku, dengan harapan bagian yang sakit dapat segera pulih.

Ida Ngurah Amerta kembali berhasil membuat pasiennya, yaitu aku, sembuh. Aku, yang semula tidak dapat bicara, akhirnya bisa berbicara kembali. Meski, apa yang kuucapkan hanya sekadar rintihan rasa sakit karena dipukul dengan sangat keras.

Orang tuaku senang dengan proses pengobatan tersebut. Setelah mendapatkan petunjuk pengobatan lanjutan atas kondisiku, mereka mengucapkan syukur dengan mapamit (berpamitan) kepada penunggu kamar suci sang balian. Kami kembali menuju mobil, dan pulang ke Denpasar.

***

Sudah dua minggu sejak pukulan sang balian taksu berlalu. Aku tetap diam seribu bahasa. Orang tuaku, yang semula yakin aku sudah sembuh, keheranan.

Orang tuaku tidak paham dengan kondisiku. Mereka pikir, hanya dengan membuatku berbicara, depresi yang aku derita dapat segera pulih. Yang seharusnya mereka fokuskan adalah menguraikan akar masalahku, bukan membuatku bicara. Setelah masalah teruraikan, aku pasti akan berbicara seiring waktu.

Melihatku yang kembali diam, dan malah tambah murung, orang tuaku menyerah. Mereka memutuskan untuk membawaku ke psikiater, yang juga menjadi dokter keluarga bagiku.

Di sana, aku mendapatkan konseling dan beberapa obat. Setelah mengeluarkan segala uneg-uneg dalam pikiranku, kondisiku semakin membaik. Aku mulai beraktivitas kecil, berbicara kecil, dan membaca tulisan-tulisan ringan.

Baca Juga  [Kisah] Ratih

Sejak saat itu, orang tuaku tidak lagi memaksakan jalannya untuk mengobatiku. Mereka hanya memberikan dukungan moral, agar kondisiku, yang sesekali kambuh, dapat pulih seperti sedia kala.

Meski, dalam benak orang tuaku, mereka sesekali masih berpikir cara-cara alternatif dalam penyembuhan penyakit. Soal ini, aku tidak terlalu ambil pusing, karena memang beginilah cara orang Bali berpikir soal penyakit dan kesembuhan, yakni sebagai sebuah rwa bhineda (dua sisi yang saling bertolak belakang).

Spongebob menulis

Mengapa Ema Menulis?

Pariwisata Bali

Sejarah Pariwisata Bali (2-Habis): Bencana bagi Pulau Dewata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tag

Komentar Terbaru