Setiap orang memiliki motivasi sendiri untuk menulis. Mahasiswa umumnya memiliki motivasi menulis sebagai syarat untuk mendapatkan nilai tertinggi atau lulus dari universitas. Dengan mengerjakan tugas, baik tugas mata kuliah maupun tugas akhir perkuliahan, mereka akan memperoleh reward berupa nilai A atau ijazah yang bernilai penting bagi mereka.
Motivasi menulis beda lagi bagi seorang mereka yang ingin berkarier dalam dunia kepenulisan. Mereka umumnya menulis sebuah tulisan untuk mengumpulkan portofolio. Dengan menerbitkan tulisan, baik dalam blog pribadi maupun media lainnya, baik daring maupun luring, mereka mengumpulkan sebuah riwayat kepenulisan. Tujuannya, sederhana: agar mereka dipertimbangkan oleh perusahaan dan diterima bekerja di sana.
Bagaimana dengan seorang Ema? Apa motivasi menulis baginya? Menjawab kedua pertanyaan ini, kita perlu mundur menuju titik awal Ema merintis Teman-teman Bulu Burung.
Saat itu tahun 2018. Ema telah beberapa tahun menjalani perundungan di kampusnya. Perundungan tersebut tidak hanya membuat dirinya tidak populer di kalangan rekan-rekannya, tetapi juga tidak memberikan ruang baginya untuk bersuara.
Satu-satunya ruang baginya untuk bersuara saat itu hanya melalui tugas kuliah dan bacaan. Tugas-tugas Ema kerjakan sepenuh hati, agar suaranya dapat tersiar nyaring di telinga teman-temannya. Bacaan ia salami dengan mendalam, agar ia bisa menjadi mahasiswa yang cemerlang secara keilmuan.
Namun, hal tersebut dirasa masih belum cukup bagi Ema. Berawal dari melihat halaman Facebook Perkumpulan Tetangga Baik dan Rahasia, Ema tergerak untuk merintis Teman-teman Bulu Burung (TTBB).
Melalui wadah bernama TTBB, Ema mulai mengutarakan pemikirannya. Pemikiran demi pemikiran ia tuangkan melalui tulisan, dalam hal itu berbentuk opini pendek.
Lambat laun, Ema menemukan pembacanya. Mereka menyukai opini pendek serta pemikiran seorang Ema. Mereka mulai menjadi pembaca setia TTBB, mengarungi perjalanan Ema sebagai seorang penulis dan pengelola halaman Facebook.
Semangat merintis TTBB tersebut masih Ema warisi hingga kini. Semangat tersebut, yang kini menjadi motivasinya untuk menulis: menulis sebagai sarana untuk bersuara.
Melalui tulisan, Ema menyampaikan gagasannya. Melalui tulisan pula, Ema mendapatkan feedback atas gagasan yang ia sampaikan, melahirkan diskusi berkelanjutan dan obrolan yang hangat dengan pembaca.
Motivasi tersebut yang membuat Ema menulis dengan sepenuh hati, terlepas topik yang ia kerjakan. Ia mencurahkan seluruh energinya melalui tulisan yang ia kerjakan, dengan harapan pembaca merespons dan menuangkan gagasan lanjutan kepadanya. Akhirnya, ia menjadi sebuah diskusi berkelanjutan, yang berhenti jika Ema dan sang pembaca menemukan sebuah titik terang kebenaran.
Semangat tersebut yang berusaha Ema transmisikan kepada para penulis muda yang dilatihnya kini. Semangat untuk bersuara menyampaikan gagasan akan mendorong penulis untuk menghasilkan tulisan yang bermakna. Dengan bersuara, kita didengar, kita dipahami, dan kita berdiskusi menuju pencerahan.