Kehidupan datang silih berganti. Sesuatu yang semula setia bersama kita, suatu saat akan pergi meninggalkan kita. Sesuatu yang kini meninggalkan kita, mungkin suatu hari nanti akan kembali dalam wujud lain.
Begitulah kepercayaan seorang Hindu mengenai kehidupan. Tidak ada yang kekal, semua berubah, semua mengalir. Kehidupan akan berganti kematian, dan kematian akan berganti kehidupan.
Demikian pula kisah Ratih, kucing putih kesayanganku. Meski kini ia telah tiada, ia meninggalkan banyak memori berkesan dalam hatiku. Tulisan ini mengabadikan sedikit perjalanan Ratih sejak awal hingga meninggalkanku untuk selamanya.
***
Hari itu sekitar pertengahan 2024. Aku tidak ingat pasti kapan ia terjadi. Namun, satu hal, aku ingat bahwa ia terjadi sekitar pukul 05.00 pagi.
Saat itu, aku terbangun dari tidur. Alih-alih mendengar suara Bobo daan Pocky, kedua anjingku, aku mendengar suara kucing. Ya, suara kucing yang sangat halus dan lembut.
Usut punya usut, ternyata rumahku kehadiran seekor kucing betina. Ia putih sebersih salju, dengan beberapa jejak hitam di atas kepalanya, layaknya jambul. Matanya heterokromia, seperti Hoshino dalam gim Blue Archive. Aku tidak tahu pasti berapa umur kucing tersebut, meski aku menduga ia masih berumur satu bulan.
Ia tiba dalam kondisi ketakutan. Mungkin karena berlari jauh, menghindari anjing yang sering berkeliaran malam di jalanan rumahku. Ia memilih rumahku sebagai tempat persembunyian.

Beberapa jam kemudian, ayahku tiba dari pasar. Ia mengatakan bahwa kucing putih tersebut tiba ketika orang tuaku sedang bersiap-siap pergi ke pasar untuk bekerja. Untuk sementara, ia ditempatkan di kandang, agar tidak diganggu Bobo dan Pocky.
“Pak, kucing ini akan kita pelihara?”
“Iya, karena dia putih. Jarang ada kucing putih begini di sini.”
“Tapi kucing ini betina. Kata Bapak, kucing betina hanya akan merepotkan saja kalau beranak nanti.”
“Tak apa, nanti bisa disteril.”
Percakapan antara aku dan ayahku mengawali perjalanan Putih, sang kucing mungil, menjadi bagian keluargaku.
***
Pada mulanya, Putih, begitu nama Ratih sebelum menjadi Ratih, tidak akur dengan Bobo dan Pocky. Ia selalu mendesis ketakutan ketika dihampiri kedua anjingku.
Namun, setelah membuat bau mereka berbaur dengan memandikan Putih dalam satu wadah bersama Bobo dan Pocky, dan menggunakan handuk yang sama, Putih dengan cepat akrab dengan mereka. Hari pertama di rumah, Putih dan Bobo telah tidur bersama, dan tak lama kemudian, ia akrab dengan Pocky.

Perjalanan Putih di rumah menghangatkan rumah. Ketika aku pulang dari bekerja, Putih menjadi hewan pertama yang aku cari. Biasanya, ia tidur di belakang sanggah, di bawah motor, atau di atas keranjang baju.
Putih tidak nakal. Ia juga tidak merusak buku-bukuku di lemari buku. Ia juga tidak merusak sampian dan banten yang dibuat orang tuaku untuk upacara (rainan). Singkatnya, Putih adalah kucing yang sangat jinak dan kalem.
***
Sejak kapan Putih menjadi Ratih? Kira-kira itu dimulai ketika Putih telah tinggal di rumah selama tiga bulan. Ayahku, yang biasa memanggil Putih dengan Tih, merasa nama Putih kurang cocok.
“Kita ganti saja nama Putih,” ucap ayahku.
“Ganti dengan apa?”
“Apa yang mendekati dengan Tih?”
“Ratih?”
“Ah, iya, Ratih. Nama itu lebih pas untuk kucing yang manuh (jinak) ini.”
Sejak saat itu, Putih berganti nama menjadi Ratih. Ia sepertinya nyaman dengan nama tersebut, dan semakin anteng berada di rumah. Ia memang keluyuran sesekali, sure, tetapi ia selalu kembali ketika jam makan, untuk meminta snack.
***
“Dalam enam bulan ke depan, akan ada satu peliharaan kita yang menjadi tumbal,” ujar ayah kepadaku.
“Enam bulan? Tumbal? Apa maksudnya?”
“Itu kata balian. Enam bulan ke depan, satu peliharaan kita akan menjadi tumbal.”
“Tapi siapa yang akan jadi tumbal?”
“Sepertinya Ratih yang akan jadi tumbal.”
“Aku tak ingin itu terjadi pada Ratih.”
“Ayah juga. Untuk itu, ayah membeli seekor ayam, agar ramalan tersebut berpindah ke si ayam, dan bukan ke Ratih.”
Percakapan pada suatu pagi di akhir 2024 tersebut membuatku terus berpikir hingga kini …, apa benar Ratih akan menjadi tumbal? Aku sendiri tidak terlalu percaya. Namun, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama kepada ayahku.
Ayahku sepertinya percaya dengan ramalan sang balian, dan berusaha sekuat tenaga untuk merawat Ratih agar tidak menjadi tumbal.
Namun, kali ini, ramalan sang balian tepat adanya.
***
Pada suatu malam di Januari 2025, Ratih pulang ke rumah dengan kondisi bagian belakang penuh kotoran. Setelah aku membawanya ke dokter hewan, ia didiagnosis mengalami diare. Dokter memberikan obat dan kiat agar Ratih dapat pulih kembali.
Pada mulanya, Ratih menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ia mulai bisa minum air sendiri, dan mulai sedikit makan. Aku pikir, Ratih sepertinya akan pulih dari sakit ini.
Namun, takdir berkata lain. Beberapa hari kemudian, Ratih mengalami keguguran. Dua cabang bayi keluar begitu saja dari perutnya dalam keadaan tidak bernyawa. Aku dan ayahku segera menguburkan mereka.
Setelah keguguran, kondisi Ratih menjadi semakin menurun. Ia mulai berdiam diri di pojok-an, terlihat tidak semangat dalam hidup. Bagian belakang Ratih juga mulai mengeluarkan darah, sepertinya sisa-sisa keguguran.
Meski dua hari sebelum mati, Ratih sempat minum air sendiri, kondisi Ratih semakin memburuk keesokan harinya. Ia mulai kesulitan untuk membuka mulut, menelan, dan berjalan. Umur Ratih tidak lama lagi.
Benar saja, ketika aku terbangun pada 9 Januari 2025 pagi, ayahku mengatakan bahwa Ratih telah mati. Jasadnya berada di kardus, ditutupi sehelai kain. Ia tak bernyawa lagi.
Meski begitu, aku merasakan kelegaan. Bukan berarti aku lega karena Ratih telah tiada. Aku lega, karena Ratih akhirnya telah tidak sakit lagi. Ia telah berada di alam kedamaian.
Tak lama, Ratih dikuburkan di dekat rumah. Dengan bekal sebuah canang dan beberapa makanan, Ratih beristirahat dengan tenang.
“Benar, ternyata Ratih menjadi tumbal dalam enam bulan ini,” ucap ayahku, ketika pulang mengunjungi makan Ratih, membawakannya sedikit susu steril.
“Sepertinya takdir akan tetap berlangsung, meski kita berusaha mengalihkannya kepada hal lain,” jawabku.
***
Ratih kini telah tiada. Selama beberapa bulan Ratih menemani kehidupanku, kisah ini aku tuliskan untuk mengabadikan perjalanan Ratih.
Selamat jalan, Ratih. Semoga engkau numitis dalam kehidupan yang lebih baik lagi di masa depan.
