Arima menorehkan tintanya. Sedikit demi sedikit, kertas yang semula kosong mulai terisi dengan tulisan. Setelah berpikir keras, kertas tersebut akhirnya menghasilkan sebuah surat.
Ke mana surat tersebut akan dikirimkan, ia tidak tahu. Pokoknya, menulis saja, tanpa mengenal lelah, tanpa mengenal kata tetapi.
“Phew, akhirnya selesai juga …,” ucap Arima dengan perasaan lega.
Arima sudah terbiasa menulis sebuah surat. Meski generasi remaja masa kini biasa menuangkan perasaan melalui status media sosial, Arima bukankah generasi tersebut. Ia masih gemar menuangkan curahan hatinya melalui surat-menyurat.
Alasan Arima menuangkan perasaan dalam surat-menyurat bukan karena ia kolot. Ia hanya lebih nyaman mencurahkan isi hatinya melalui tulisan. Terlebih, sebagai penulis yang menjuarai lomba cerpen tingkat provinsi, Arima juga ingin melatih kemampuannya menulis.
“Seperti biasa, surat ini akan aku masukkan dalam amplop, dan aku simpan hingga saatnya tiba.”
Tubuh kecil Arima segera mengambil amplop di laci meja kerjanya. Surat tersebut dilipat, kemudian dimasukkan ke dalam amplop.
Arima segera menuliskan nama tujuan surat tersebut di atas amplop. “Untuk Maya,” begitulah alamat tujuan surat yang telah ia tulis susah-payah.
Sebagai seorang yang sangat mencintai Maya, Arima ingin mengungkapkan perasaannya melalui surat. Namun, Arima adalah lelaki yang pemalu. Ia takut, ketika ia mengungkapkan perasaannya, hubungan antara dirinya dan Maya merenggang, tidak terkoneksi dengan baik, atau justru berakhir kandas.
“Surat ini akan aku letakkan dulu di meja. Suatu saat, aku akan menyerahkan surat ini kepada Maya,” ungkap Arima menatap amplop tersebut.
Arima tersenyum puas. Ia meletakkan surat tersebut di atas meja, kemudian melanjutkan pekerjaannya menulis naskah cerpen.
***
Kelas terasa sepi. Tidak ada siswa yang hadir saat itu. Mungkin karena Arima hadir terlalu pagi, dan siswa lainnya belum beranjak dari mimpi-mimpi mereka.
Arima segera bergegas ke ruang kelas Maya. Ia menyelipkan amplop yang telah ia tulis malam itu di kolong meja Maya. Syukur, ia datang pagi-pagi buta sehingga tidak ada yang melihatnya melakukan hal tersebut.
Dengan harap-harap cemas, Arima kembali ke kelasnya, berperilaku wajar seperti biasa.
***
Kegiatan belajar mengajar akan segera berakhir. Arima tak kunjung mendapatkan balasan yang ia harap-harapkan. Apakah Maya sudah membaca surat yang ia selipkan di kolong mejanya, tanya Arima dalam hati.
Untuk memastikan, Arima memutuskan untuk menengok sebentar ruang kelas Maya. Tidak terlihat Maya hadir di kelas tersebut hari ini. Arima tentu bertanya, mengapa Maya, siswa yang hampir tidak pernah absen, tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti biasa.
“Woi, Arima! Kau sedang apa?” tanya Budi, teman baik Arima sekaligus satu kelas dengan Maya.
“Ah, tidak, tidak! Tidak ada apa-apa, kok.”
“Yakin? Aku curiga, jangan-jangan kau ingin menengok Maya, ya?”
“Ah, guilty as charged.”
“Hahaha, Arima, Arima, kau memang mudah sekali ditebak …, kau benar-benar menantikan Maya, gadis mungil yang berkacamata itu.”
Budi terlalu mudah menebak kegelisahan Arima. Sebagai teman baik, Budi telah mengenai Arima luar dan dalam. Ia juga tahu, bahwa Arima kesulitan menuangkan perasaannya kepada Maya.
“Jadi, mengapa Maya tak hadir hari ini?”
“Kau tak tahu berita? Maya masuk rumah sakit hari ini. Ia sedang dirawat intensif di ruang ICU karena sakit yang tak diketahui.”
Arima terkejut. Ia tidak menyangka, jika Maya sekarang berada dalam kondisi kritis. “Di mana Maya sekarang? Aku harus segera ke sana!” ucap Arima kepada Budi.
“Di rumah sakit swasta di pinggir kota. Teman-teman yang lain juga sedang berkunjung ke sana. Kau sebaiknya bergegas, jika ingin menyampaikan benda ini kepadanya,” ucap Budi sambil menunjukkan amplop yang ia temukan di kolong meja Maya.
“Baik, terima kasih! Aku akan segera ke sana,” jawab Arima sembari mengambil amplop tersebut, bergegas pergi ke rumah sakit tempat Maya dirawat.
***
Setelah bersusah-payah melewati jalanan macet kota, Arima akhirnya tiba di rumah sakit. Di sana, kondisi telah penuh sesak. Siswa sekolah dan keluarga besar Maya telah berkumpul di rumah sakit. Mereka menunggu kabar terakhir Maya, saudara, kerabat, dan teman mereka.
“Permisi, Ibu …, di mana Maya?” tanya Arima kepada ibunda Maya.
Sang ibu tak kuasa menahan tangis. Ia menjawab dengan tersedu-sedu. “Maya …, Maya telah tidak bersama kita lagi,” ucapnya sambil menahan air matanya yang berusaha jatuh.
Dunia Arima seketika rubuh. Ia tak kuasa mendengar kabar, bahwa Maya, pujaan hatinya, telah meninggalkan dirinya. Tak kuasa, ia pun tertunduk, diam seribu bahasa. Perasaan sedih tak kuasa keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
“Ibu tidak bercanda, kan?” tanya Arima, berusaha mengelak fakta tersebut.
“Saya tidak bercanda untuk urusan seperti ini, dik Arima.”
Sang ibu seketika mengajak Arima duduk bersamanya. Ia menceritakan riwayat sakit Maya, yang selama ini hanya diketahui oleh keluarga intinya.
“Maya memang telah memendam sakit sejak lama. Dokter telah memvonis bahwa umur Maya tidak akan panjang. Kami berusaha tegar menerima kenyataan tersebut, tetapi pada akhirnya, kami harus merelakan kepergian Maya kami yang tercinta kepada Tuhan Semesta Alam.”
“Ibu, izinkan saya menyampaikan permohonan saya. Saya ingin menyerahkan surat ini kepada Maya pagi ini. Namun, saya tidak menyangka bahwa hari ini merupakan hari terakhir saya bertemu dengan Maya. Saya mohon kepada Ibu untuk menyimpan surat ini, sebagai memori saya kepada Maya.”
“Surat apa ini, dik Arima?”
“Surat buah perasaan saya kepada Maya.”
“Apakah saya boleh membacanya?”
“Silakan, Ibu. Ibu dapat membacanya.”
Seketika, ibunda Maya membuka amplop tersebut. Ia membaca surat tersebut dengan penuh perasaan. Ia tak kuasa menahan perasaan terharunya kepada Arima.
“Saya tidak menyangka, bahwa dik Arima benar-benar perhatian kepada Maya. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih, dan berharap agar pesan dik Arima bisa sampai ke tangan Maya di atas sana.”
“Terima kasih, Ibu. Hanya itu buah pikiran serta perasaan saya, untuk terakhir kalinya, kepada Maya tercinta.”
***
Teruntuk Maya
Selamat pagi,
Jika kamu membuka surat ini, kenalkan, aku Arima. Aku sendiri dari kelas sebelas, tak jauh dari kelasmu sekarang.
Sejak pertama kali melihatmu membaca novel di perpustakaan, aku telah terpikat kepadamu. Kegiatanmu tersebut mendorongku untuk lebih aktif menuangkan perasaanku, terutama melalui tulisan. Dengan sedikit kegigihan, aku mencurahkan buah pikiranku melalui tulisan, terutama cerpen dan puisi.
Puji Tuhan, Maya, berkat hari yang paling berkesan itu, aku berhasil memenangkan lomba menulis cerpen tingkat provinsi. Meski memang hadiah yang aku terima tidak banyak, tetapi aku akhirnya punya alasan untuk tetap hidup dan menuangkan ide-ideku di atas kertas.
Maya, meski kini aku dikenal sebagai seorang penulis yang mahir, aku tidak pandai dalam mengungkapkan perasaanku. Aku hanya bisa menuliskanmu sebuah surat, surat yang kamu baca ini, sebagai caraku untuk menyampaikan apa yang terpendam dalam hatiku.
Aku tidak berharap apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku ingin mengenalmu lebih dekat. Aku berharap, melalui surat ini, bisa mengenalmu lebih dekat, bercengkerama denganmu, berbincang denganmu, dan lainnya.
Semoga waktu akan mempertemukan kita berdua.
Salam
Arima
