Pariwisata Bali

Sejarah Pariwisata Bali (2-Habis): Bencana bagi Pulau Dewata

Bali kembali meraih prestasi. Kali ini bukan penghargaan sebagai pulau surga, seperti pada masa kolonial lalu. Kali ini, Bali meraih peringkat pertama dalam Fodor’s No List 2025, menjadi tempat yang paling tidak layak untuk dikunjungi wisatawan pada 2025.

Alasan Fodor, situs layanan pariwisata dunia tersebut, menempatkan Pulau Dewata dalam No List 2025 adalah karena adanya overtourism yang mengganggu kesejahteraan kehidupan masyarakat lokal. Pariwisata membawa segudang masalah bagi Bali, utamanya dari segi lingkungan. Sampah dan pencemaran meracuni Bali sebagai akibat pariwisata yang telah terlalu berlebihan.

Pencapaian Bali tersebut tidak hanya ia terima pada 2024 ini saja. Pada 2019 lalu, Bali juga masuk dalam Fodor’s No List 2020, dengan alasan yang sama. Pencemaran lingkungan sebagai dampak overtourism mengancam kesejahteraan penduduk Bali.

Menanggapi rilis Fodor, Dinas Pariwisata (Dispar) Bali memberikan respon. Menurut Tjok Bagus Pemayun, Kepala Dispar Bali, sebagaimana dikutip melalui Antara, overtourism tidak terjadi di Bali. Menurutnya, memang terdapat konsentrasi wisatawan di Bali bagian selatan, tetapi kondisi kunjungan wisatawan belum sekali menunjukkan sampai berlebih.

Tidak hanya Dispar Bali yang menolak rilis Fodor. Zita Anjani, Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata, juga menyatakan bahwa No List yang diterbitkan Fodor harus dimaknai sebagai peluang. Diharapkan, Bali, yang mendapatkan penghargaan dari UNWTO, dapat menjadi contoh destinasi pariwisata berkualitas di tingkat global.

Terlepas pernyataan Bagus Pemayun dan Anjani, overtourisme benar-benar terjadi dalam pariwisata Bali masa kini. Mengutip artikel Bali gives a snapshot of what ‘overtourism’ looks like in the developing world oleh Rama Permana, kepadatan lalu lintas, tingkat wisatawan yang sering berbuat ulah, dan masalah lingkungan, telah menjadi bencana bagi Bali. Karena pariwisata yang terlalu berlebihan, dan bahkan terlalu ketergantungan, Bali menjadi pulau yang bermasalah.

Masalah di atas menjadi penegas bahwa pariwisata Bali kini berada di simpang jalan, yakni antara menuju buah manis devisa negara dan pembangunan masyarakat lokal, atau menuju buah pahit bencana sosial-ekonomi-kultural bagi Bali. Bagaimana ini bisa terjadi?

Pariwisata Bali masa Soekarno: Proses Persiapan Awal

Setelah kepergian Belanda dan Jepang dari tanah Bali, pariwisata di Tanah Dewaa dikelola oleh pemerintah Indonesia. Presiden Indonesia pertama, Soekarno, menaruh minat terhadap pariwisata Bali.

Baca Juga  Menulis Sejarah adalah Hal yang Sulit?

Mengutip artikel I Putu Anom dkk. berjudul Turismemorfosis: Tahapan selama seratus tahun perkembangan dan prediksi Bali, kisah ketertarikan Soekarno bermula ketika Indonesia kedatangan banyak delegasi asing untuk menghadiri Konferensi Asia Afrika pada 1955. Kehadiran mereka, yang begitu antusias dengan pesona Indonesia, melahirkan ide cemerlang dalam diri Soekarno untuk mengembangkan kembali industri pariwisata di negara yang ia pimpin.

Cita-cita Soekarno membangun pariwisata, utamanya di Bali, diwujudkan alam bentuk pembangunan Hotel Bali Beach dan Lapangan Terbang Tuban (sekarang menjadi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai). Kedua fasilitas tersebut memungkinkan wisatawan dapat tiba di Bali melalui pesawat terbang, dan menginap di sebuah hotel dengan fasilitas lengkap.

Meski begitu, pembangunan pariwisata pada masa Soekarno tidak begitu terlihat. Kondisi sosial Bali yang penuh gejolak (utamanya sejak 1950 hingga setidak-tidaknya 1955), ketika para bandit bersenjata meneror orang asing dan masyarakat lokal, membuat kunjungan wisatawan ke Bali tidak begitu banyak.

Seperti yang diceritakan John Coast ketika mengunjungi Bali, ia harus menyembunyikan revolver di bawah bantalnya, untuk jaga-jaga jika ada penyusup yang memasuki tempat tidurnya. Hal serupa juga diceritakan oleh Jef Last, dalam buku Bali in de kentering, yang mengungkapkan bahwa Soekarno sampai turun langsung ke Bali untuk menenangkan gejolak yang terjadi di Bali.

Meski begitu, beberapa orang, seperti Jef Last dan John Coast, mengunjungi Bali dan membantu mengenalkan kembali eksotisme Bali kepada publik luar. Utamanya John Coast, melalui usul kelompok kesenian Bali yang bekerja sama dengan Puri Peliatan, eksotisme Bali kembali diketahui publik Amerika dan Eropa. Catatan mengesankan kelompok kesenian Bali tersaji tidak hanya melalui buku Dancing out of Bali, tetapi juga melalui pemberitaan harian Suara Indonesia.

Usaha pembangunan pariwisata Bali baru membuahkan hasil ketika presiden pengganti Soekarno, Suharto, memimpin Indonesia.

Suharto dan Geliatnya Mempromosikan Pariwisata Bali

Pariwisata Bali mulai membuahkan hasil manis ketika Suharto berkuasa. Melalui kerja sama dengan pihak pemberi modal dari belahan bumi barat, Bali dibentuk menjadi sebuah “surga eksotis” yang modern sekaligus tradisional kepada para wisatawan.

Baca Juga  Sejarah Tidak Aktual dengan Realita Masa Kini?

Kerja sama antara pemberi modal dan pemerintah Orde Baru membuahkan Bali Tourism Development Centre (BTDC) di Nusa Dua pada 1973. Mengutip artikel Bali Jangan Cengeng yang diterbitkan Balipost.com, kehadiran BTDC menggairahkan kunjungan wisatawan ke Bali, meski tidak begitu signifikan.

Selain mendirikan BTDC, Orde Baru giat melakukan promosi terhadap pesona eksotisme Bali kepada pihak luar. Promosi tidak hanya dilakukan dengan menerbitkan brosur pariwisata, tetapi juga menggenjot pembangunan hotel dan restauran, seperti yang ditulis oleh M. F. Mukhti dalam artikel Pesona Wisata Pulau Dewata.

Upaya Orde Baru membuahkan hasil. Beberapa wilayah di wilayah selatan Bali berubah menjadi pusat pariwisata. Kuta, yang semula adalah abian kelapa dan menjadi bekas benteng bagi Mads Lange pada abad ke-19, ditumbuhi homestay. Sanur, yang semula ditakuti karena menjadi pusat ilmu leak, berubah menjadi surga berjemur wisatawan. Nusa Dua, yang semula tidak ada apa-apa, tumbuh puluhan hotel berbintang.

Promosi yang gencar oleh Orde Baru mendorong kunjungan wisatawan ke Bali tumbuh tiap tahun. Ia juga membuat pariwisata menjadi budaya pariwisata, mengutip Michel Picard dalam buku Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata bagi orang Bali. Setidak-tidaknya, ini dapat kita lihat dalam harian Bali Post pada 1980-an dan Karya Bhakti edisi 1980-an dan 1990-an, yang memberikan satu halaman khusus untuk berbicara soal perkembangan pariwisata Bali.

Pertumbuhan pariwisata Bali pada masa Orde Baru tidak hanya berdampak positif bagi kehidupan sosial-ekonomi-kultural masyarakat Bali. Ia juga, pada tahap berikutnya, membawa masalah bagi Bali.

Ketika Pariwisata Berbuah Bencana bagi Bali

Pariwisata tidak selalu menjadi buah manis bagi Pulau Bali. Memasuki periode 1990-an, overtourism mulai melanda Bali, yang setidak-tidaknya dapat kita lihat melalui pembangunan berbagai megaproyek untuk mendorong tumbuhnya pariwisata.

Baca Juga  Realita Masyarakat Indonesia akan Sejarah

Pada dekade ini, pemerintah Orde Baru membangun beberapa megaproyek besar di Bali. Megaproyek tersebut adalah Garuda Wisnu Kencana di Ungasan, dan Bakrie Nirwana Resort di Tanah Lot. Kedua megaproyek tersebut diharapkan dapat mendorong wisatawan berkunjung ke Bali lebih banyak lagi.

Namun, masyarakat Bali mulai gerah dengan rencana Jakarta. Melalui suara dalam harian Bali Post, mereka mengkritik dan menolak pembangunan kedua megaproyek tersebut. Namun, Jakarta melakukan intervensi, dan mengutip Henk Schulte Nordholt dalam Bali: Benteng Terbuka 1995-2005, tentara dikerahkan untuk membungkam harian Bali Post.

Memasuki dekade 2000-an, pariwisata mulai membawa banyak masalah dalam kehidupan sosial-ekonomi-kultural masyarakat Bali. Masalah tersebut antara lain konflik dengan masyarakat pendatang, sampah, pembangunan pariwisata yang tidak melihat desa kala patra, prostitusi, alih fungsi lahan, dan krisis air.

Pemerintah daerah Bali telah berupaya untuk bermain dua kaki, yakni menghentikan masalah-masalah tersebut, sembari tetap menjaga kunjungan wisatawan ke Bali tetap tumbuh. Namun, posisi mereka tidak menguntungkan, utamanya bagi masyarakat Bali yang tidak mendapatkan kue dolar dari geliat pariwisata.

Dapat dikatakan, Bali kini berada dalam kondisi dilema. Di satu sisi, mengutip Michel Picard, mereka tidak dapat hidup dari pariwisata. Kebudayaan mereka akan mati jika pariwisata pergi dari Bali. Namun, di sisi lain, pariwisata, utamanya yang sudah mengarah ke overtourism, mendorong tumbuhnya berbagai masalah sosial-ekonomi-politik di tanah Bali.

Apakah Bali akan selamat dari bencana pariwisata ini? Hanya waktu yang mungkin dapat menjawabnya …

Balian

[Cerpen] Balian Taksu

Bandung Eko Sinergitas Teknologia

[Cerpen] Bandung Encok Sinergitas Teknologia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tag

Komentar Terbaru