Setelah kita menyelami realita sejarah dalam masyarakat Indonesia, yang hanya dilihat sebagai konten tanpa adanya historical thinking, pertanyaan yang tersisa adalah, bagaimana cara agar sejarah dapat tampil sebagai ilmu yang berguna bagi masyarakat luas? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat bagaimana sejarah diajarkan di ruang kelas dan universitas.
Ketika saya berkuliah dulu, mahasiswa yang benar-benar mendalami sejarah bisa dihitung dengan jari. Selebihnya, mereka belajar sejarah karena kesasar di jurusan antah berantah, atau sekadar ingin mengejar nilai. Mereka tak ada bedanya dengan mahasiswa lain, yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi demi gelar.
Jika sedikit-dikitnya setengah dari mereka (angkatan saya berjumlah sekitar 36 orang) mau mendalami sejarah dengan serius, mereka dapat memahami, bahwa sejarah memiliki nilai guna bagi mereka dan masyarakat di sekitar mereka. Juga, mereka dapat mengenalkan bagaimana sejarah seharusnya dibaca oleh masyarakat, melalui produksi konten-konten kesejarahan.
Pada akhirnya, keengganan mereka untuk belajar sejarah, tidak menjawab polemik kesejarahan yang beredar di masyarakat. Polemik seperti uang pada pembangunan Jalan Raya Pos atau Gaj Ahmada tidak akan sampai berlarut-larut jika mereka turun gunung.
Jika dipelajari dengan sungguh-sungguh, sejarah dapat mengarahkan pembacanya, atau orang yang mempelajarinya, kepada kemampuan berpikir secara diakronis dan sinkronis. Diakronis, dalam arti mereka bisa melihat sebuah fenomena secara kronologis, melihat kesinambungan, ketidaksinambungan, perkembangan, dan aspek yang tidak dilanjutkan. Ini dapat membuat mereka menempatkan sebuah fenomena dalam garis waktu yang sesuai dengan zamannya.
Konsep berpikir diakronis ini hanya bisa muncul melalui pembelajaran sejarah. Ia dapat membantu seseorang melihat fenomena dari awal hingga akhir. Dalam banyak kasus, pendekatan diakronis dapat membantu mereka membuat semacam analisis prediksi, membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan.
Sementara, pemikiran sinkronis, dapat membuat seseorang melihat sebuah fenomena dalam berbagai sisi atau aspek. Ia tidak hanya berdimensi tunggal, seperti dilihat secara sosiologis, antropologis, atau psikologis, semata. Ia merupakan gabungan dari aspek-aspek tersebut, atau bisa dikatakan berdimensi jaman.
Untuk mendorong penciptaan pemikiran diakronis dan sinkronis dalam masyarakat Indonesia, sejarawan, mahasiswa sejarah, dan pegiat sejarah, perlu turun gunung. Mereka perlu lebih giat menulis dan menerbitkan konten kesejarahan kepada masyarakat. Konten tersebut tidak ditulis dengan bahasa yang ndakik-ndakik, tetapi membumi dan ringan. Singkatnya, mengutip sebuah tulisan yang sedang saya kirim untuk Majalah Riwajat, kita perlu mendorong lebih banyak sejarawan arus bawah.
Pada akhirnya, bagaimana cara untuk menyejarahkan masyarakat Indonesia. Tentu, jawaban atas pertanyaan ini adalah memperbanyak geliat dan ruang bergerak bagi sejarawan arus bawah. Jika gerak mereka masih terbatas, atau mereka nyaman di atas menara gading, sulit untuk membayangkan bahwa kondisi menyejarahkan masyarakat Indonesia dapat terwujud di negeri ini.
