Berbeda dengan notulensi Kuliah Sejarah bulan lalu [Juli 2021] yang hanya terbit dalam satu bagian, notulensi kali ini akan diterbitkan dalam dua bagian [bagian kedua akan terbit besok malam].
Saya menyadari, bahwa sebelum membahas mengapa sejarah penting untuk dipelajari dan diketahui, adalah penting untuk mengenali sedikit mengenai bagaimana masyarakat Indonesia memandang sejarah. Sebagai awalan, saya mulai dengan menceritakan sedikit pengalaman pribadi saya
Ketika saya membantu seorang teman untuk mengerjakan program KKN, yakni menulis ulang sejarah desa tersebut, ia menemui kesulitan. Kesulitan yang utama adalah masyarakat desa tempat ia KKN enggan berbicara kembali mengenai sejarah desa mereka.
Bagi mereka, sejarah desa yang telah ditulis oleh pemerintah desa tersebut sudah cukup. Kajian atau penelusuran kembali atas sejarah desa mereka tidak perlu dilakukan. Mereka sudah puas dengan narasi yang telah ada sejak lama, meski ketika dibaca lebih lanjut, terdapat beberapa hal yang bersifat supranatural tergambar dalam sejarah mereka.
Kondisi ini, menurut hemat saya, tidak jauh berbeda dengan kondisi mentalitas kolektif masyarakat Indonesia dewasa ini. Dalam benak mereka, sejarah hanya sebatas sebuah pengetahuan yang bersifat mendasar.
Mereka tidak terpikirkan lebih jauh mengenai sejarah. Mereka tidak mengambil pelajaran, baik itu kemampuan berpikir kritis, berpikir historis atau kronologis, atau mengembangkan sikap rasional, ketika bercengkrama dengan sejarah. Mengutip Mestika Zed atau Sam Wineburg, mereka belum menumbuhkan kemampuan berpikir historis (historically-minded).
Bagi Anda yang keberatan dengan kondisi tersebut, dengan menunjuk fakta adanya beberapa anak muda yang menggemari sejarah, atau generasi tua yang aktif berkumpul membahas sejarah, saya melihat keberatan tersebut secara mendasar. Dewasa ini, sejarah telah menjadi budaya populer yang dikonsumsi masyarakat. Layaknya memakan nasi, berbagai konten sejarah dengan ilustrasi yang memikat dilahap oleh masyarakat. Kondisi ini mungkin akan menegaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kemampuan berpikir historis yang baik.
Namun, ada satu hal yang perlu saya garis bawahi, bahwa kemampuan berpikir historis tidak hanya soal membaca konten-konten sejarah. Ia adalah sebuah fase yang memungkinkan seseorang untuk melihat konten sejarah, atau fenomena secara mum, secara historis (kronologis) dan kritis.
Cara yang dapat dilakukan untuk memulai kemampuan berpikir kritis, adalah menggungat sebuah hal secara sebab-akibat (faktor mengapa/why). Ini akan mendorong seseorang melakukan penelusuran lebih jauh, tidak serta merta berhenti pada satu masalah semata. Jika kondisi ini dapat terpenuhi, saya tentu tidak akan membuat dan menerbitkan tulisan ini.
Disayangkan, generasi muda yang aktif berbicara soal sejarah lebih banyak ingin tampil hip dan populer semata. Di sisi lain, generasi tua penikmat sejarah menggunakannya sebagai sarana untuk romantisisme ria. Mereka belum melihat lebih jauh esensi sejarah, yakni sebagai hasil interpretasi masa kini atas masa lalu.
Dengan realita seperti ini, dapat saya katakan bahwa masyarakat Indonesia masih melihat sejarah sebagai pembaca konten sejarah. Mereka belum banyak menggunakan kemampuan rasional mereka dalam melihat sejarah. Benar, mereka menikmati konten sejarah lebih banyak saat ini berkat keberadaan internet. Namun, bukan berarti mereka memahami lebih banyak konten-konten tersebut.

One thought on “Realita Masyarakat Indonesia akan Sejarah”