Protes LGBTQ di Kenya

Penyefong Western: Gagal Melawan Degenerasi, Malah Menjadi Pendekar Anti-woke

Pantes mereka mulai kelihatan di Indonesia, ternyata ada lowongan nya[sic] bjir,” ungkap Akhmad Riyadi Santoso dengan penuh kecemasan. Ia khawatir, iklan lowongan pekerjaan (loker) dari LGBT Foundation sengaja diterbitkan untuk menarik masyarakat Indonesia, terutama para penganggur, untuk menjadi seorang LGBTQ.

Kecemasan seorang Akhmad mungkin terlihat beralasan, melihat sikap masyarakat Indonesia yang cenderung antipati terhadap gerakan LGBTQ. Namun, melihat jejak-jejak komunitas LGBTQ di Indonesia, terutama secara historis, saya bisa katakan bahwa apa yang ia khawatirkan adalah sebuah hal konyol.

Sejak 1982, sebuah organisasi masyarakat LGBTQ telah berdiri di Indonesia, tepatnya di Solo, Jawa Tengah. Organisasi tersebut bernama Lambda Indonesia. Menurut Shafira Amalia dalam Magdalene, aktif mengadakan pertemuan sosial dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai homoseksual.

Lambda Indonesia kemudian dilanjutkan oleh organisasi kecil lainnya, yakni Persaudaraan Gay Yogyakarta, yang aktif menyuarakan suara mereka melalui majalah Jaka (1983-1988). Kini, sebuah wadah bernama GAYa Nusantara eksis untuk menyuarakan suara-suara komunitas LGBTQ. Dede Oetomo menjadi figur sentral dari geliat organisasi ini.

Selain itu, iklan loker yang dibagikan Akhmad juga merupakan sebuah loker basi. Setelah melacak tautan dalam poster loker, didapati bahwa ia diterbitkan pada Agustus 2020 lalu, oleh sebuah situs bernama Acepgates.com. Situs tersebut dikelola oleh Acep Saepudin, seorang ODHIV (orang dengan HIV) dan penerima 2019 HERO Awards. Situs Acepgates.com ia gunakan untuk membagikan informasi seputar lowongan pekerjaan, baik dalam maupun luar negeri, serta perihal kompetisi.

Secara sekilas, loker tersebut terlihat legit, mengingat ia tampil dalam bahasa Indonesia. Namun, ketiadaan tanda baca yang efektif membuat saya menduga bahwa loker tersebut merupakan loker berbahasa Inggris yang diterjemahkan dengan translator. Dugaan tersebut diperkuat dengan tidak ditemukannya exact picture dari loker tersebut melalui Google Images, TinEye, dan Yandex. Satu-satunya informasi yang bisa diketahui, adalah ia dibagikan melalui video TikTok oleh sebuah akun pembagi info loker.

Ketidaktelitian, serta kemurkaan terlalu dini, seorang Akhmad Riyadi Santoso dalam grup Penyefong Western (Menolak Degenerasi) tentu memantik pertanyaan mendasar terhadap kehadiran grup Facebook tersebut. Apa benar mereka memperjuangkan perlawanan terhadap degenerasi? Jika tidak, apa yang sebenarnya mereka lawan?

Makna Degenerasi bagi Penyefong Western

Untuk menjawab pertanyaan mengapa anggota grup Penyefong Western justru bersikap seperti seorang degenerated, kita perlu melihat apa yang mereka sebut sebagai degenerasi.

Mengutip laman informasi terkait grup Penyefong Western, mereka memberikan definisi (yang tidak terlalu jelas) degenerasi sebagai pemujaan berlebihan terhadap [B]arat. Pemujaan berlebihan tersebut menitikberatkan pada beberapa bidang, yakni LGBTQ, militerisme, feminisme, veganisme, dan yang cukup umum, dampak buruk westernification.

Apa yang mereka maksud sebagai westernification, tidak begitu jelas. Apakah yang mereka ingin sampaikan adalah westernization? Sepertinya, saya menduga bahwa mereka ingin menolak segala pengaruh liberal dari westernisasi, dan tetap mengadopsi beberapa poin positif tentangnya. Tentu saja, selama ia tidak menjadi sebuah pemujaan berlebihan terhadap Barat.

Baca Juga  Mengapa Palestina Gagal Merdeka?, Sebuah Buku yang Terlahir Secara Tidak Sempurna

Pernyataan dalam laman informasi tersebut semakin diperkuat, jika kita merujuk beberapa postingan anggota grup Penyefong Western yang beredar secara liar. Seperti postingan dari Kamerad Sosialis Rexsa, ia mengidentifikasi degenerasi, seperti social justice warrior (SJW) dan eseponx sebagai degenerasi. Baginya, degenerasi adalah sebuah wabah, yang mesti berada jauh-jauh dari lingkungan kampus dan instansi pendidikan lain.

Postingan yang lebih lampau, kali ini dari I Nurwahid, menggambarkan LGBTQ sebagai wujud degenerasi. Baginya, mereka adalah sebuah penyimpangan, yang jika diposisikan dengan Islam, akan sangat problematik. Ia berharap, umat muslim yang menjadi seorang LGBTQ untuk keluar dari penyimpangan yang mereka anut.

Apa yang Seharusnya Mereka Lawan: Orientalisme

Sebagai sebuah grup yang melawan westernisasi, Penyefong Western lebih banyak bersikap sebagai penentang segala hal yang berbau liberal Barat. Mereka lebih aktif bersikap antipati terhadap segala hal tersebut, seperti veganisme, LGBTQ, dan lainnya, ketimbang menelaah mereka lebih jauh.

Sebenarnya, Penyefong Western dapat memposisikan mereka lebih baik sebagai musuh bagi para pemuja segala hal yang berbau Barat dengan menjadi pengkritik orientalisme. Mengutip Edward Said dalam buku Orientalism, sikap orientalisme, yakni menempatkan Timur sebagai sesuatu yang inferior dalam kacamata Barat, merupakan sesuatu yang berbahaya, baik bagi Timur maupun Barat.

Bagi masyarakat Timur, orientalisme akan menempatkan mereka sebagai figur yang serba kerdil, dan bagi masyarakat Barat, orientalisme dapat mengekalkan budaya kekerasan terhadap masyarakat Timur. Sikap seperti ini tentu berbahaya, ketika dunia Timur dan Barat kini saling terkoneksi dengan cepat, dan interaksi antarbudaya semakin menggeliat.

Sebagai contoh, mitos penciptaan masyarakat pribumi sebagai pemalas, menurut Syed Hussein Alatas, merupakan hasil kreasi keji penjajah kolonial. Hanya karena melihat masyarakat pribumi tidak banyak yang ingin bekerja dalam kapitalisme kolonial, mereka langsung melakukan penghakiman, menuduh mereka sebagai pemalas. Padahal, secara budaya masyarakat Timur, mereka juga bekerja sama rajinnya dengan pekerja Eropa yang terkadang hanya bergantung pada kemampuan budak-budaknya.

Baca Juga  Sepucuk Surat Penggemar mengenai Ace Attorney

Dengan melawan orientalisme, Penyefong Western akan lebih efektif dalam melawan degenerasi, yakni sikap pemujaan berlebihan terhadap Barat, ketimbang hanya wake-woke-wake-woke semata. Tentu, melawan orientalisme membutuhkan sumber daya serta diskusi yang mendalam, dan itu yang sepertinya belum mereka kerjakan hingga hari ini.

Melawan Wake-Woke-Wake-Woke Alih-alih Degenerasi itu Sendiri

Jika mereka masih belum berhasil melawan degenerasi, yang mereka artikan sebagai pemujaan berlebihan terhadap Barat, apa yang sebenarnya mereka lawan? Tentu, jika Anda telah membaca bagian awal tulisan ini, mereka lebih banyak menentang LGBTQ, veganisme, dan segala hal yang berbau liberal Barat.

Mengapa mereka melawan itu semua? Jawaban sederhana, adalah sikap antipati mereka terhadap hal-hal yang terindikasi liberal Barat. Terkait LGBTQ, misalkan, sikap antipati warga Penyefong Western seirama dengan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia yang menentang anti-LGBTQ. Sikap tersebut tidak hanya terjadi dalam ruang masyarakat biasa, tetapi juga di kalangan akademikus, seperti yang diungkapkan dalam sebuah artikel di The Conversation.

Berikutnya, mengenai veganisme, pendekatan warga Penyefong Western bergerak seirama dengan viralnya beberapa postingan dan video yang menampilkan clash antara masyarakat vegan dan masyarakat non-vegan. Video dan postingan tersebut, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih mengosumsi daging, tentu dianggap sebagai hal yang aneh serta udik. Ini mendorong Penyefong Western akhirnya membenci veganisme, tanpa melihat prinsip filosofis di baliknya.

Kondisi di atas, pada akhirnya, membuat keberadaan Penyefong Western lebih bersifat memberdayakan degenrasi alih-alih menumpasnya. Degenerasi yang saya maksudkan tidak sebagai pemujaan berlebihan terhadap Barat, tetapi, mengutip Merriam Webster, kemampuan efektif atas kekuatan, vitalitas, dan kualitas esensial yang semakin memudar. Definisi tersebut terkait dengan kemampuan literasi, yang memungkinkan seseorang untuk melihat sesuatu dengan lebih objektif, kritis, dan jernih.

Baca Juga  Enggal Nirwana Sejati dan Tiga Senjata Fauzan Wibowo Menipu Pionir Pi Network

Dalam konteks Penyefong Western, mereka masih jauh dari sebuah masyarakat yang berliterasi. Mereka lebih terlihat seperti sekumpulan anak-anak yang merengek soal wake-woke-wake-woke, tanpa melihat lebih jauh apa yang mereka ributkan. Disayangkan, pemikiran seperti ini tumbuh lebih kuat dalam Penyefong Western, ketimbang pemikiran yang mengajak anggota untuk melihat isu dengan lebih luas.

Dapat dikatakan, Penyefong Western tidak melawan degenerasi. Yang mereka lawan adalah budaya liberal Barat, yang mereka takutkan akan menurunkan kualitas manusia Indonesia. Seandainya mereka mengerahkan sumber daya lebih banyak untuk mengalami esensi dari degenerasi, yakni orientalisme, mereka akan memiliki nilai fungsi lebih baik ketimbang kondisi saat ini. Mereka lebih memilih menjadi pendekar anti-woke, ketimbang benar-benar menggerus akar dari pemujaan berlebihan terhadap Barat dalam masyarakat Indonesia.

Meme Sejarah

Penyajian Sejarah Indonesia dalam Budaya Populer: Sebuah Tantangan

Hari Guru

[Surat] Teruntuk Guru Terkasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tag

Komentar Terbaru