Perang di Jalan Allah

Mengapa Perang Aceh Berlangsung Begitu Lama?

Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 | Ibrahim Alfian | Pustaka Sinar Harapan | 1987 | ISBN – | 282 halaman

Perang Aceh, yang berlangsung sejak 1873 hingga awal abad ke-20, menjadi perang terpanjang dan paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, dengan persenjataan yang canggih, kesulitan menghadapi semangat juang laskar Aceh mempertahankan wilayah mereka.

Kisah mengenai kepahlawanan pemimpin Aceh dalam perang tersebut telah banyak kita temukan dalam tulisan, baik berupa buku maupun artikel. Kisah kepahlawanan mereka, seperti Panglima Polem, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien, dapat dengan mudah ditemukan melalui pencarian Google.

Namun, satu hal yang masih belum diketahui publik, adalah mengapa Belanda membutuhkan waktu hampir 50 tahun untuk menyelesaikan Perang Aceh? Faktor apa yang menjadi dasar perjuangan laskar Aceh, sehingga dengan gigih terus melawan Belanda hingga 1912?

Kedua pertanyaan di atas berusaha dibedah oleh Ibrahim Alfian, sejarawan Universitas Gadjah Mada, melalui buku Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Buku ini, yang berasal dari disertasi doktoralnya, tidak hanya membedah perjalanan Perang Aceh, tetapi juga latar belakang sosial mengapa perang tersebut dapat berlangsung sangat lama.

Penarasian Ibrahim Alfian dimulai dengan menceritakan latar belakang sosial masyarakat Aceh. Menurutnya, masyarakat Aceh saat itu terbagi dalam dua bidang kekuasaan, yakni kekuasaan berbasis kesultanan dan kekuasaan berbasis agama. Sultan Aceh, bersama para uleebalang, memerintah wilayah Aceh, memunguti pajak dan menyejahterakan masyarakatnya.

Di sisi lain, masyarakat Aceh sangat taat kepada para ulamanya. Mereka, yakni para teungku meunasah, sangat dihormati masyarakat Aceh. Apa yang menjadi perintah mereka, akan segera dituruti masyarakat Aceh.

Selain itu, tingkat keislaman masyarakat Aceh sangat tinggi. Mereka sangat setia dengan panji-panji agama Islam. Hal tersebut tidaklah aneh, mengingat Kerajaan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia yang masih eksis dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain kala itu.

Baca Juga  Riwayat Singkat Teman-teman Bulu Burung

Namun, di balik kesalehan tersebut, masyarakat Aceh juga percaya dengan kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa jimat memiliki kekuatan yang dapat melindungi mereka. Salah satu bentuk jimat tersebut, yakni rantai babi hutan (rante bawi), dipercaya dapat membuat kebal siapa pun yang memilikinya.

Pada bagian berikutnya, Alfian mengisahkan awal mula meletusnya Perang Aceh. Berawal dari Traktak London antara Belanda dan Inggris, dikatakan bahwa kedua negara tidak akan mengganggu gugat urusan Kesultanan Aceh. Namun, dalam Traktat Sumatra, Belanda diizinkan untuk ikut masuk dalam urusan Kesultanan Aceh. Ini menjadi awal bagi Belanda untuk masuk dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Setelah berkonflik dengan Kerajaan Aceh di wilayah Barus beberapa tahun sebelumnya, pada 1873, pasukan Belanda berlabuh di wilayah Aceh, mengawali perang melawan Kesultanan Aceh. Pada awalnya, Belanda memperkirakan bahwa perang akan berlangsung cepat. Namun, tidak disangka-sangka, Sultan dan rakyat Aceh sangat gigih mempertahakan wilayah mereka.

Apa yang menyebabkan sikap gigih tersebut? Menurut Ibrahim Alfian, semangat perang sabil, yang diusung rakyat Aceh, menjadi dasar hal tersebut. Perang sabil memposisikan Belanda sebagai kaphe (kafir). Bagi rakyat Aceh, semua kekuatan kafir yang mengancam harus diperangi hingga ke akar-akarnya.

Salah satu wujud semangat perang sabil diungkapkan dalam naskah Hikayat Perang Sabil. Naskah tersebut, yang diduga berasal dari abad ke-17, memerintahkan siapa pun yang membacanya untuk mengangkat senjata melawan kekuatan kafir. Rakyat Aceh, melalui para teungku mereka, mengobarkan api perang sabil dengan berkobar-kobar, siap mati menghadapi kaphe dan siapa pun yang mendukung para kaphe Belanda.

Semangat perang sabil disampaikan kepada masyarakat melalui kegiatan keagamaan. Kegiatan seperti kenduri dan ceramah ketika salat Jumat menjadi media efektif untuk menyebarkan semangat ini. Selain itu, dengan mencukil potongan naskah Hikayat Perang Sabil sebagai jimat, dengan harapan dapat memberikan kekebalan, semangat perang sabil terus digemakan rakyat Aceh.

Baca Juga  Transbudaya, Solusi Menyelesaikan Konflik antara Yuridanshi dan Non-Yuridanshi

Bahkan, semangat perang melawan kekuatan kaphe Belanda masih berlanjut setelah 1912. Menurut data-data yang berhasil dikumpulkan Alfian, beberapa kalangan masyarakat Aceh masih terus menyerang orang-orang Belanda setelah Aceh berhasil dikuasai. Ini menunjukkan bahwa semangat perang sabil terus berkobar, tidak memandang waktu dan tempat. Selama ada kekuatan kaphe yang mengancam kehidupan umat Islam, perang sabil akan terus dikumandangkan.

Setelah menyajikan informasi mengenai semangat perang sabil, Ibrahim Alfian melanjutkan narasinya dengan kisah mobilisasi para ulama Aceh dalam menghadapi serangan Belanda. Diungkapkan, tokoh seperti Teungku Cik di Tiro dan Panglima Polem mengumpulkan kekuatan menyerang pasukan Belanda yang berhasil menduduki Kutaraja, ibu kota Kesultanan Aceh. Serangan demi serangan terus dilakukan, dengan beragam hasil. Mereka berhasil menciptaka ketakutan bagi Belanda.

Keadaan mulai berubah sejak 1897. Ketika itu, Belanda mengerahkan kekuatan Snouck Hurgronje, seorang indolog dan pakar Islam asal Belanda, untuk menyelidiki masyarakat Aceh. Penyelidikannya, yang diungkapkan menjadi buku berjudul De Atjehers, menyatakan bahwa masyarakat Aceh sangat dekat dengan para ulama mereka. Untuk melemahkan posisi mereka, Belanda harus menguasai para pemimpin adat, yakni kelompok uleebalang.

Dengan siasat tersebut, Belanda dapat membalikkan keadaan. Setelah berusaha selama beberapa tahun, Sultan Muhammad Daud Syah, yang menggantikan ayahnya, Sultan Mahmud Syah yang wafat dalam perang, menyerah kepada Belanda pada 1903. Penyerahan Daud Syah dirayakan oleh Belanda, menganggap bahwa Perang Aceh telah berhasil mereka menangkan.

Namun, hingga 1912, titik akhir periodisasi dalam buku ini, rakyat Aceh masih terus berjuang melawan kekuatan kaphe Belanda. Tercatat, di wilayah Aceh Barat, Aceh Utara, dan Aceh Timur, kekuatan rakyat Aceh masih terus meresahkan Belanda.

Meski telah memenangkan perang, kekuasaan Belanda masih belum mampu meredam semangat perang sabil rakyat Aceh. Mereka hanya akan berhenti mengganggu Belanda, jika pemimpin tertinggi mereka mau masuk Islam dan menjadi mualaf. Selama hal tersebut tidak dilakukan, Belanda masih dilihat sebagai kekuatan kaphe yang harus diperangi.

Baca Juga  Pi Network, Wujud Matinya Sebuah Kepakaran

Membaca buku Perang di Jalan Allah ini, membuat saya membandingkan kondisi di Aceh dengan apa yang terjadi di Banten pada periode yang sama. Menurut analisis Sartono Kartodirdjo, rakyat Banten mengadakan pemberontakan petani, salah satunya dilandasi semangat perang sabil. Bahkan, semangat perang sabil tersebut, yang diusung oleh para ulama, diteruskan hingga 1926, ketika PKI memberontak melawan kekuasaan imperialisme Belanda.

Dapat dikatakan, temuan Ibrahim Alfian mengenai masyarakat Aceh dapat digunakan sebagai bahan analisis untuk melihat perlawanan sejenis di wilayah lain di Indonesia. Dalam banyak kasus, semangat pemberontakan melawan kekuasaan Belanda digerakan oleh para ulama, yang mengusung semangat perang sabil. Jika hal ini benar, kasus Aceh dapat dibandingkan dengan kasus-kasus yang terjadi di Jawa dan wilayah lainnya, sesuai dengan harapan Ibrahim Alfian dalam buku ini.

Buku Perang di Jalan Allah, sebagai buku awal yang mengisahkan Perang Aceh, tidak hanya mengisahkan perjalanan perang. Ia juga menampilkan dasar-dasar sosio-kultural terjadinya, dan berlangsungnya, sebuah perang. Melalui buku ini, perang tidak hanya dapat dipahami sebagai adu strategi militer. Di baliknya, terdapat kekuatan-kekuatan sosial dan kebudayaan yang menjadi motor penggerak masyarakat untuk terus mengobarkan api perang.

Diharapkan, buku Perang di Jalan Allah tidak hanya memberikan pembaca pemahaman mengenai perjalanan kisah Perang Aceh semata, tetapi juga mengapa perang tersebut berlangsung begitu lama, dan dasar-dasar sosial serta kultural yang mendasarinya.

[Cerpen] Surat

Warung bangkrut

[Kisah] Warung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tag

Komentar Terbaru