Mengapa Palestina Gagal Merdeka? | Hanafi Wibowo | Neosphere Digdaya Mulia | 2022 | ISBN 978-623-99818-3-9 | x + 169 halaman
Seiring dengan perang yang berkecamuk antara Palestina dan Israel, perhatian masyarakat Indonesia berpusat pada keprihatinan terhadap bangsa Palestina. Tidak hanya perihal boikot terhadap sejumlah usaha milik Amerika Serikat, publik Indonesia juga aktif menyuarakan suara kemerdekaan Palestina.
Palestina, sebagai sebuah bangsa, mulanya berdiri sendiri sebagai entitas. Namun, kehadiran kaum Yahudi di tanah Palestina, menghasilkan konflik berkepanjangan, yang dampaknya terasa hingga kini. Palestina, yang seharusnya bisa berdiri sebagai bangsa yang merdeka, seolah-olah gagal untuk mewujudkan kemerdekaan mereka.
Banyak dari masyarakat Indonesia mungkin bertanya-tanya, mengapa Palestina gagal merdeka sebagai sebuah bangsa? Apa yang menyebabkan Palestina gagal eksis sebagai sebuah negara-bangsa, sehingga berakhir menjadi bangsa yang dijajah oleh zionis Israel?
Menjawab kedua pertanyaan tersebut, Hanafi Wibowo mencoba memberikan penerangan kepada kita melalui buku Mengapa Palestina Gagal Merdeka? Buku ini merupakan tugas akhir Hanafi, yang diterbitkan kembali oleh Neosphere Digdaya Mulia, PT yang menaungi media kesejarahan populer Neo Historia.
Sebagai bagian dari Neo Historia, Hanafi Wibowo merupakan mantan co-founder komunitas tersebut. Sempat memegang beberapa jabatan penting bersama CEO Neo Historia, Daniel Limantara, kehadiran Hanafi menjadi think tank bagi media kesejarahan populer tersebut. Namun, Hanafi meninggalkan posisinya sebagai think tank pada 2024, beberapa waktu setelah cuitan Chris Wibisana viral di X.
Mengapa Palestina Gagal Merdeka? dimulai dengan bercerita riwayat Palestina selama pemerintahan Turki Utsmani. Dengan sangat kronologis, Hanafi bercerita riwayat Palestina ketika masih berada di bawah kekuasaan Utsmani. Kekuatan Hanafi yang mampu bercerita kronologis tampil dengan mengesankan pada bagian ini.
Meski begitu, bagian pengantar terlihat belum sempurna betul. Terlihat beberapa bagian dalam Bab I tugas akhir, yang dipotong begitu saja dijadikan satu bagian. Ini membuat pembacaan awal buku ini menghadapi kendala yang membingungkan, setidaknya bagi saya.
Menurut Hanafi, terdapat empat alasan mengapa Palestina gagal menjadi negara bangsa yang merdeka. Alasan pertama, adalah ketiadaan pemahaman akan definisi negara. Hanya segelintir elite terdidik Palestina yang memiliki konstruksi atas bangsa. Selebihnya, masyarakat Arab Palestina kebanyakan bekerja sebagai petani miskin, dipandang tidak mengetahui atau memahami esensi sebuah bangsa atau negara Palestina.
Kedua, suara penolakan yang terus-menerus digemakan terhadap Mandat Inggris. Menurut Hanafi, jika dimanfaatkan dengan baik, kehadiran Mandat Inggris di Palestina dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat Arab Palestina. Disayangkan, mereka lebih banyak bersikap antipati, dan berujung protes berkepanjangan.
Mereka tidak hanya antipati dan protes berkepanjangan saja. Dalam banyak kasus, masyarakat Arab Palestina menolak kehadiran Mandat Inggris. Namun, pemberontakan mereka masih bersifat kedaerahan, belum menjadi sebuah gerakan yang solit. Ini membuat kekuatan masyarakat Arab Palestina yang semakin melemah.
Ketiga, adanya kedekatan antara imigran Yahudi dan Inggris. Sikap tidak simpati Inggris terhadap masyarakat Arab Palestina dimanfaatkan oleh kaum Yahudi untuk mendekati Inggris. Dengan sedikit daya upaya, mereka akhirnya menjalin kerja sama. Kerja sama tersebut bersifat saling mendukung, yang berujung lahirnya negara Israel di tanah Palestina.
Keempat, dan yang tidak kalah krusial, adalah campur tangan negara-negara Arab yang berada di sekitar Palestina. Mereka berusaha masuk ke halaman/tanah Palestina, mencari keuntungan di tengah konflik yang ada. Ini justru membuat kondisi semakin runyam, yang dapat kita lihat setelah 1948, melalui perang Arab-Israel.
Keempat alasan tersebut menjadi faktor mengapa Palestina gagal merdeka sebagai sebuah negara bangsa. Jika mereka bisa mengerahkan sumber daya lebih lanjut untuk menghindari keempat faktor di atas, mungkin Palestina bisa eksis sebagai sebuah negara bangsa saat ini.
Sebagai sebuah buku sejarah, Hanafi menulis dengan sangat kronologis. Penekanannya pada periodisasi benar-benar kuat dan menarik. Ini menjadi sebuah ciri khas yang perlu diberdayakan lebih lanjut.
Bagi pembaca yang menggemari buku-buku sejarah kronologis, buku Mengapa Palestina Gagal Merdeka? dapat menjadi bacaan yang menarik. Pembaca tidak hanya akan menemukan beberapa fakta seputar penciptaan Palestina, tetapi juga tentang kisah antara masyarakat Arab Palestina dan Yahudi pada masa Mandat Inggris.
Namun, sebagai sebuah buku sejarah, terdapat beberapa catatan krusial yang perlu saya ketengahkan dalam tulisan ini. Pertama, adalah tidak adanya layuoting yang kuat dalam buku ini. Ia masih tampil berantakan, dengan posisi awal bab yang masih kurang rapi satu sama lain.
Kedua, terdapat banyak kesalahan ketik dalam buku ini. Kesalahan ketik tidak hanya satu atau dua kata semata, tetapi sampai belasan hingga puluhan bagian. Sepertinya, editor buku ini, yakni Daniel Limantara dan Veronica Septiana Setiawati, belum bekerja dengan baik.
Ketiga, tidak ada keterangan gambar dalam buku. Meski buku ini memuat beberapa gambar yang diambil dari postingan Neo Historia, ketiadaan keterangan yang jelas akan maksud gambar membuatnya membingungkan. Seolah-olah, gambar tersebut hanya sekadar mejeng atau tampil, tanpa diberikan pengantar lebih lanjut, apa maksud dari gambar yang ditampilkan.
Ketiga catatan tersebut, setelah saya berbincang dengan Hanafi Wibowo selaku penulis, memang kondisi yang tidak terelakkan. Buku Mengapa Palestina Gagal Merdeka? hanya masuk sebentar dalam meja redaksi, dan tidak diproses secara matang. Sepertinya ada ketergesaan ketika menerbitkan buku ini, yang membuat kualitas buku menjadi sedikit problematik.
Mengutip Hanafi, buku ini terlahir secara tidak sempurna. Setelah saya membaca penuh buku ini, saya bisa katakan bahwa pernyataan Hanafi benar adanya. Seandainya pihak Neosphere Digdaya Mulia memiliki lebih banyak waktu untuk memproses buku ini, Mengapa Palestina Gagal Merdeka? seharusnya bisa tampil lebih matang.
Seandainya Hanafi Wibowo dapat menulis ulang beberapa isu dalam buku ini menjadi tulisan atau sebuah buku baru, atau merevisi isi naskah buku sebelum diterbitkan, kualitas buku seharusnya akan menjadi lebih baik. Namun, kita berbicara tentang Neo Historia, sebagai media yang dikelola Neosphere Digdaya Mulia, sebuah media kesejarahan populer yang dikenal lebih mengutamakan kecepatan ketimbang akurasi.
Sepertinya, dalam kasus Mengapa Palestina Gagal Merdeka?, mereka masih bersikap kejar tayang ketimbang duduk dan memperbaiki kualitas buku ini lebih jauh. Yang penting ada produk untuk diterbitkan, mungkin dalam benak mereka.
Akhir kata, buku Mengapa Palestina Gagal Merdeka? Sebenarnya memiliki potensi untuk menjawab lebih banyak pertanyaan masyarakat Indonesia seputar penciptaan identitas negara bangsa Palestina. Tentu saja, ini baru terwujud jika buku ini mendapatkan waktu proses yang lebih lama.
Buku ini dapat dibaca bagi mereka yang tertarik dengan isu seputar Israel-Palestina, atau sekadar ingin menambah referensi tentang Palestina. Penyajian yang kronologis membuat buku ini tampil sangat menarik, jika kita mengenyampingkan semua catatan yang saya paparkan dalam tulisan ini.
