Pada 10 Oktober 2022 silam, sebuah kudetaterjadi di sebuah grup fandom animanga (anime & manga). Kudeta tersebut dimulai oleh Rombo, salah seorang anggota grup, yang merasa tidak puas terhadap kebijakan Admin AC. Ketidakpuasannya muncul akibat fandom animanga tersebut kerasukan unsur LGBTQ.
Kondisi serupa terjadi pada akhir 2023 lalu. seorang yuridanshi, istilah bagi penggemar animanga bergenre yuri, bernama RL, berselisih dengan DA, seorang pecinta animanga bishoujo berwujud lolicon. Perselisihan tersebut berawal dari silang pendapat antara mereka, yang berujung debat kusir dan perselisihan.
Kedua kisah di atas menggerakan hati saya. Tentu saja, bagi saya, kedua kisah tersebut adalah puncak gunung es komunitas penggemar budaya populer, utamanya animanga, di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan Putu Prima Cahyadi dalam artikel Stigma Genre Yuri di Mata para Penggemar Anime di Indonesia, ia berawal dari sebuah masalah utama: budaya benci. Menurutnya, budaya benci terhadap anime bergenre yuri, yang tumbuh seiring dengan suara kontra terhadap kampanye LGBTQ di media sosial, mendorong kaum wibu di Indonesia untuk membenci siapa pun yang menyukai anime bergenre ini.
Sebagai seorang himedanshi (pria yang menyukai animange bergenre yuri), saya seolah memiliki kewajiban untuk turut berpendapat, menyampaikan pandangan, yang mungkin, dapat menengahi konflik antara para penggemar budaya di Indonesia, terutama dalam budaya animanga bergenre yuri. Pertanyaan mengapa terjadi budaya benci dan bagaimana langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi budaya ini akan diuraikan dalam tulisan ini.
Sekilas tentang Kebudayaan Yuridanshi
Memahami budaya benci, utamanya antara yuridanshi dan non-yuridanshi, perlu dimulai dari melihat lebih jauh perjalanan kebudayaan yuridanshi di Jepang.
Menjustifikasi bahwa animanga, utamanya genre yuri, sebagai hal yang baru saja terjadi, utamanya setelah pandemi COVID-19, merupakan asumsi menyesatkan. Genre ini setidak-tidaknya sudah dikenal sejak awal abad ke-10.
Dimulai pada 1910, terdapat sebuah gerakan sosial berbasis politik bernama Gerakan S pada Kesenian Takarazuka. Mengutip J. Robertson dalam The Politics of Androgyny in Japan, “S” dalam gerakan ini berarti shoujo, yaitu semangat persaudaraan. Menurut N. Yoshida dalam novel Yaneura no Nishojo, semangat persaudaraan didefinisikan sebagai hasrat untuk memberikan kebersamaan bagi sesama wanita Jepang untuk merdeka dari identitas budaya wanita Barat.
Secara trivial, gerakan sosial politik tersebut menginspirasi munculnya genre animanga yuri. Sebab, salah satu bentuk kesenian yang berasal dari wanita Jepang ialah cerita sehari-harii mengenai perjuangan kemanusiaannya itu sendiri. Mengutip T. Matt dalam The Multi-Faceted Universe of Shōjo Manga, dunia global melihat fenomena Shoujo Social Action sebagai gerakan sosial wanita di mana pun diri mereka berada demi memanusiakannya menjadi lebih baik, lebih bermakna, hingga lebih berbahagia tanpa menyudutkan seks atau gender tetangganya: pria.
Namun, secara resmi, kemunculan genre yuri pertama kali hadir pada 1971, tepatnya ketika banyak manga one shot di bawah judul Yurizoku hadir di Comiket. Karya yang diciptakan diterbitkan oleh seorang editor bernama Ito Bungaku. Sampai akhirnya, sekitar lebih kurang 10 tahun kemudian, sebuah Original Video Animation (OVA) berjudul “Cream Lemon” Escalation dirilis pada 10 September 1984.
Beberapa spiritual successor animanga bergenre yuri kemudian bermunculan, seperti Koutetsu Tenshi Kurumi(1999), Strawberry Panic(2006), Mai-HiME (2006), dan Sakura Trick (2014). Ini menjadi awal bagi tumbuhnya animanga genre yuri dalam kehidupan budaya popular, utamanya Cool Japan.
Budaya Benci, Akar Kebencian Antar-fandom
Pada dasarnya, budaya benci, sebagai akar konflik antara yuridanshi dan non-yuridanshi, bukan hal baru dalam sebuah permasalahan sosial-budaya kemanusiaan. Ia telah muncul sejak awal abad ke-19, ketika rasisme masih sarat terjadi di Amerika Serikat.
Saat itu, mengutip J. Butler dalam buku Excitable Speech: A Politics of the Performative, masyarakat kulit putih selalu menyampaikan opini subjektifnya kepada warga native Amerika. Sebagai contoh, mereka menyatakan diri mereka superior. Konsekuensinya, menurut J. Ponzio dalam Linguistic Violence and the Body to Come: The Performativity of Hate Speech in J. Derrida and J. Butler, memuncak menjadi alasan bagi warga kulit putih Amerika Serikat untuk membenci para pendatang.
Seiring dengan tren internet, budaya benci cenderung semakin menguat. Dalam budaya popular, sebagai contoh, anggota fandom non-yuridanshi dan yuridanshi terlibat dalam konflik yang dilatarbelakangi budaya benci.
Tidak hanya antara mereka, kelompok otaku ekstremis dengan kelompok otaku yang cenderung lebih santai sering terjadi gesekan. Mereka, kelompok ekstremis, gemar untuk menekan kelompok otaku biasa karena kepentingannya sendiri. Misal, mengutip M. MacWilliams dalam buku Japanese Visual Culture: Explorations in the World of Manga and Anime, mereka tidak mau mengakui pasangan resmi (canon couple) pada suatu animanga dan menuntut pengarang atau studio bertanggung jawab untuk mengerjakannya.
Secara teknis, budaya benci memiliki tiga ciri kredo ideal. Kredo pertama adalah garis besar konsekuentif, mengutip K. Gelber dalam Hate Speech: Definition and Empirical Evidence. Kredo ini menyatakan bahwa mereka hanya mengemban tanggung jawab bagi dirinya atau kelompoknya sendiri, tanpa bertanggung jawab terhadap kelompok lain. Mereka tidak mau ambil pusing terhadap hal-hal yang menurut mereka kurang tepat, menyimpang, hingga salah total.
Kredo kedua ialah garis besar konten, mengutip A. Brown dalam What is Hate Speech? Part 1: The Myth of Hate. Kredo ini menyatakan bahwa materi berbudaya benci digemakan melalui media, mendorong pemikiran kolektif yang menyatakan rasa benci dan negative terhadap sesuatu.
Kredo ketiga adalah garis besar ideologis. Kredo ini bertujuan untuk memengaruhi khalayak umum untuk turut membenci apa yang mereka benci. Kredo ini, menurut McSwiney dalam Sharing the Hate? Memes and Transnationality in the Far Right’s Digital Visual Culture, memiliki dampak berupa penggalangan massa, yaitu memberikan kekuatan masif untuk didukung oleh banyak orang.
Menjadi Penggemar Transbudaya
Budaya benci, utamanya dalam kehidupan animanga antara yuridanshi dan non-yuridanshi, dapat diselesaikan. Setidak-tidaknya, terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan untuk menyudahi konflik berkepanjangan ini, terutama di Indonesia.
Pertama, sebagai fandom yang sehat, kita wajib membedakan antara kesenian dan kenyataan. Kita perlu memisahkan antara hal yang transendentik atau religious dengan kesenian, dalam hal ini animanga.
Kedua, lagi-lagi sebagai fandom yang sehat, kita wajib mempelajari asal-usul fandom kesukaan kita. Kita perlu menyelami awal perjalanan fandom yang kita ikuti, dan bagaimana ia bergerak hingga saat ini. Diharapkan, pendekatan kesejarahan ini akan membuat kita memahami dinamika fandom yang kita salami.
Ketiga, kita wajib menghormati dan toleran terhadap fandom lainnya. Apa pun perbedaan yang dimiliki, otaku tetaplah otaku. Dengan membenci fandom lain, apalagi berlandaskan budaya benci, akan menghasilkan perbuatan yang dapat melanggar hukum.
Dengan adanya sikap menghormati dan toleran terhadap fandom lainnya, diharapkan, apa yang saya sebut sebagai transbudaya, yang saling terkoneksi satu sama lain secara sinergi, dapat terwujud. Transbudaya tidak hanya memahami fandom yang mereka ikuti, tetapi juga memahami bagaimana fandom lain menjalani kehidupan mereka.
Mereka, anggota suatu fandom, tidak sekadar belajar sejarah diri sendiri. Mereka juga memahami bagaimana fandom lain menjalani jatuh bangun kehidupan, lengkap dengan segala dinamikanya. Jika kita membayangkannya lebih mudah, ia tidak hanya akan membuat sebagai anggota fandom menjadi toleran, tetapi juga menghargai sesama fandom dan antar-fandom.
Pada akhirnya, transbudaya diperlukan untuk menjalin sikap menghargai antar-fandom, utamanya antara fandom yuridanshi dan non-yuridanshi. Dengan menjadi transbudaya, budaya benci, yang selama ini memisahkan kedua fandom dalam api konflik tak berkesudahan, dapat melebur menjadi sebuah wadah bersama yang saling mengisi satu sama lain. Transbudaya tidak hanya akan berguna bagi kedua pihak fandom, tetapi juga kepada kelompok masyarakat yang kini terpecah dalam sekte-sekte yang saling terpisah.
Tulisan awal oleh M. Ardi Pritadi (Yurihime Club Indonesia)
Disunting kembali dan dikemas menjadi tulisan populer oleh Putu Prima Cahyadi
