Setelah melakoni berbagai tahapan dan persyaratan, kedua kandidat pemilihan gubernur (Pilgub) Bali 2024 telah mendapatkan nomor urut mereka. Pengundian nomor yang menjadi identitas selama bertarung dalam kontes pemilihan umum tersebut, menetapkan pasangan Made Muliawan Arya (De Gadjah)—Putu Agus Suradnyana, atau Mulia-PAS, nomor urut 01. Ia akan bertarung melawan pasangan nomor urut 02, yakni gubernur Bali incumbent, I Wayan Koster, yang berpasangan dengan mantan bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta.
Melansir pemberitaan BaliPost.com, kedua pasang calon gubernur tampil dengan pakaian adat Bali. Koster-Giri, masing-masing mengenakan baju safari (dikenal juga sebagai baju Jawa) dengan kain bawahan (kamen & saput) khas Bali. Tidak ingin kalah, Mulia-PAS juga mengenakan bawahan kain adat Bali, tetapi dengan pakaian kemeja berwarna biru muda. Pakaian atas tersebut seirama dengan pakaian yang sering digunakan pasangan presiden-wakil presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabumi Raka, ketika berkampanye.
Pakaian pasangan Mulia-PAS sedikit berbeda dengan foto resmi untuk surat suara. Alih-alih menggunakan pakaian adat Bali, seperti kebanyakan kandidat yang bertarung dalam pemilihan umum di Pulau Dewata, mereka menggunakan setelan kemeja biru muda. Hanya Suradnyana, yang terlihat menggunakan destar (udeng) sebagai foto resmi. De Gadjah tetap tampil santai, dengan menampilkan kepala plontosnya kepada masyarakat.
Tidak hanya dalam foto resmi untuk surat suara, pasangan Mulia-PAS sering ditampilkan tanpa menggunakan pakaian adat. Berbeda dengan baliho Koster-Giri, yang selalu tampil dengan pakaian adat Bali, Mulia-PAS tampil dengan pakaian nasional. Penampilan Mulia-PAS seolah ingin menegaskan, bahwa mereka ingin membawa pesan baru bagi dunia perpolitikan Bali, yang lekat dengan identitas ke-bali-an (balinese-ness).
Pesan apa yang ingin dibawa pasangan Mulia-PAS bagi masyarakat Bali? Apakah pesan ini akan efektif untuk menggaet simpati masyarakat Pulau Seribu Pura, yang selama ini sangat melekat dengan identitas ke-bali-an dalam memilih pemimpin?
Riwayat Kebudayaan Bali dalam Dunia Politik
Penggunaan pakaian adat Bali dalam pergelaran politik di pulau tersebut terkait erat dengan wacana ke-Bali-an yang menggema kembali sejak akhir 1990-an dan awal dekade 2000-an.
Dalam pemilihan umum 2004, sejumlah calon pemimpin Indonesia, baik yang bertarung di kancah nasional maupun daerah, menggunakan kebudayaan Bali sebagai jalan untuk menarik simpati rakyat Bali. Salah satu contoh penerapan hal ini adalah adanya penggunaan pacalang, satuan pengamanan tradisional Bali, untuk mengamankan agenda partai politik.
Mengutip tulisan I Made Suasthawa Dharmayuda berjudul Tugas Pacalang (SARAD, Oktober 2002), penggunaan kebudayaan Bali, dalam hal ini pacalang, sebagai jalan untuk berpolitik partai politik, merupakan upaya memanfaatkan citra pacalang yang positif. Dharmayuda beranggapan bahwa pacalang, sebagai wujud kebudayaan Bali, telah dapat memainkan peran dengan baik sembari mempertahankan atribut-atribut kebaliannya.
Namun, penggunaan kebudayaan Bali sebagai sarana untuk berpolitik tidak lepas dari kritik. Seperti yang diungkapkan sebuah artikel berjudul Jurus Politik Telikung Budaya (SARAD, Juni 2004), sejumlah partai politik dan politisi memanfaatkan kebudayaan lokal Bali untuk memenuhi ambisi politik mereka. Salah satu contoh yang terjadi saat itu, adalah ketika mantan bupati Bali, IBG Ladip, melakukan pasupati (penyucian secara niskala) bendera Golkar berukuran raksasa.
Bagaimana dengan pakaian adat Bali? Hal tersebut juga terjadi kepadanya. Masih mengutip artikel yang disebutkan di atas, kampanye pemilu 2004 menjadi pertemuan yang erat antara kebudayaan Bali dan politik. Mulai dari partai politik yang menjungkirbalikkan simbol budaya maupun agama, seperti Partai Perhimpunan Indonesia Baru yang menggelar kampanye dengan ogoh-ogoh dan busana adat Bali, kebudayaan Bali bersatu dengan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Apakah orang Bali protes terkait hal ini? Menurut ketua KPU Bali saat itu, AA Oka Wisnumurti, dalam artikel Jurus Politik Telikung Budaya, upaya mendekatkan kebudayaan Bali dan politik adalah kita untuk menjadikan politik menjadi lebih santun dan berbudaya. Tidak ada praktik eksploitasi, seperti yang dituduhkan sebagian orang Bali. Justru orang Bali nyaman2 saja dengan hal tersebut.
Mulia-PAS, Melawan Arus Ke-bali-an melalui Pakaian
Setelah kita mengetahui bahwa kebudayaan Bali telah berhubungan akrab dengan dunia politik, terutama di tingkat lokal, pertanyaan berikutnya yang perlu kita jawab adalah mengapa Mulia-PAS memilih untuk melawan arus?
Saya menduga, strategi Mulia-PAS untuk tidak berpakaian adat Bali dalam kampanye politik yang dilakukan terkait dengan strategi mendekatkan Bali dengan Jakarta. Pada bagian ini, dapat saya katakan bahwa Mulia-PAS ingin mencoba untuk lepas dari atribut ke-bali-an yang bersifat simbolis.
Kondisi seperti ini mengingatkan kita akan pemilihan gubernur (Pilgub) Bali 2003. Mengutip Henk Schulte Nordholt dalam buku Bali: Benteng Terbuka 1995-2005, pakaian kandidat gubernur menggambarkan kecenderungan politik dan kultural yang melekat kepadanya. Salah satu kandidat, yang tampil dengan pakaian jas lengkap, digambarkan sebagai simbol politisi Jakarta yang sarat dengan perilaku korup.
Hal ini kontras dengan pakaian kandidat lain, yang tampil dengan pakaian adat Bali. Pakaian adat Bali, menurut Nordholt, menggambarkan kedekatan dan kepenulian akan nasib masyarakat Bali. Ia juga menggambarkan pemahaman yang tinggi akan ke-bali-an, semangat membela masyarakat Bali dan kebudayaannya dari pengaruh luar.
Dalam kasus Mulia-PAS, pakaian yang dipilih, yang kemeja berwarna biru muda tanpa simbol kebudayaan Bali, menggambarkan dua hal. Pertama, ia menggambarkan kebijakan sang kandidat, yang akan mendekatkan Bali dengan segala kebijakan yang diputuskan Jakarta. Bali tidak lagi independen dalam menentukan langkah-langkah yang akan diambil; semua akan sinergi dengan Jakarta. Ini dapat kita lihat dengan pemilihan warna pakaian dalam kampanye, yang seirama dengan pakaian Prabowo-Gibran ketika Pilpres 2024 kemarin.
Kedua, adalah semangat untuk tidak menjadikan Bali untuk Bali. Sebagai sosok yang ingin tampil nasionalis, Mulia-PAS ingin menjadikan Bali sebagai milik semua bangsa. Mulia-PAS berharap Bali tidak lagi terjebak dalam wacana etnosentrisme, yang selama ini melebarkan jurang antara orang Bali dengan orang dauh tukad dan orang dajan tukad.
Semangat Mulia-PAS adalah semangat nasionalistik berorientasi kepada kepentingan Jakarta, sangat kontras dengan Koster-Giri yang ingin membawa Bali untuk masyarakat Bali melalui wacana ke-bali-an.
Epilog: Pada Akhirnya, Semua Kembali ke Bali
Meski Mulia-PAS ingin tampil berbeda dalam kontestasi pemilihan gubernur Bali pada 2024 ini, ia masih tidak lepas dari pengaruh ke-bali-an. Dalam debat kandidat pada akhir Oktober 2024 lalu, pasangan ini tampil dengan pakaian adat Bali.
Dalam benak Mulia-PAS, tampil dengan pakaian nasional adalah bunuh diri sebagai seorang politisi Bali. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus meng-embrace kembali identitas ke-bali-an dalam berpolitik, jika ingin meraih simpati masyarakat Bali.
Mulia-PAS adalah perwujudan bagaimana orang Bali tidak akan dapat lepas dari ke-bali-an yang melekat dalam dirinya. Sekuat apa pun mereka berusaha melepaskan diri, pada akhirnya, mereka akan kembali ke Bali, sebagai orang Bali, lengkap dengan segala pakaian adat yang melekat di badannya.
